Rabu, 27 Juni 2012

Bagaimana konsep Dasar islam dalam memandang perilaku bermasalah


I.     PENDAHULUAN
Agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Ajaran islam adalah ajaran yang bersumber dari dari Allah swt. Oleh karena itu, al-qur’an sebagai sumber utama ajaran islam memiliki kebenaran mutlak. Kebanyakan manusia hanya sebatas mengakui kebenaran itu, namun mereka tidak ingin atau belum memiliki kebenaran untuk mengaplikasikan al-qur’an itu dalam seluruh aspek ilmu pengetahuan dan kehidupan. Seolah-olah antara agama, sains dan kehidupan terpisah adanya. Hal inilah yang menjadi sebab utama manusia mengalami kegagalan dalam mengulangi dan mencari berbagai solusi terhadap ujian dan persoalan kehidupan.

II.      PEMBAHASAN
Perilaku bermasalah merupakan tingkah laku seseorang dalam menghadapi masalah yaitu apa yang diinginkan tidak terjadi sedangkan yang tidak diinginkan malah terjadi. Seperti halnya pemarah, pendendam, takabur, riya’, dengki dan sebagainya. Telah kita ketahui fitrah manusia itu ada 4 yaitu fitrah iman, jasmani, rohani dan nafs. Ketika terjadi perilaku bermasalah, maka fitrah iman inilah yang tidak berkembang dan berfungsi baik. Dalam perspektif psikologi dakwah, M.H.Arifin berpendapat bahwa ada 3 dimensi yang membentuk corak kepribadian yang menjadi konsep perilaku bermasalah atau tidaknya pribadi seseorang yaitu kondisi ragawi, kualitas kejiwaan dan situasi linkungan. Untuk itu dalam islam ada aplikasi terapi islam terhadap berbagai perilaku bermasalah, sebagaimana akan dibahas berikut ini:

1.      Membacakan ayat-ayat Allah
Maksudnya adalah membacakan beberapa ayat al-qur’an, surat-surat tertentu yang ada hubungannya dengan permasalahan, ganggunan, atau penyakit yang sedang dihadapi seseorang.
Fungsi dan tujuan membaca ayat-ayat al-qur’an itu adalah dalam rangka sebagai berikut:

a.       Pemberian nasehat
Cara pemberian nasehat disini dengan cara bijaksana, penuh kasih sayang, ketauladanan dan buan mengundang perdebatan. Dalam pemberian nasehat, hendaknya harus menggunakan ayat-ayat atau dalil-dalil al-qur’an dengan benar, sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh seseorang. Disinilah seorang terapis harus mempunyai keahlian menyimak makna-makna lahir maupun batin dari pesan-pesan ayat atau dalil al-qur’an itu. Sehingga tampak adanya ruh nasehat yang masuk kedalam hati dan jiwa seseorang. Dari sinilah klien akan mulai tertarik dan terbuka untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang lebih baik, benar, dan menentramkan.
Sering seseorang klien mengemukakan permasalahannya, bahwa ia dihadapkan dengan persoalan-persoalan hidup yang cukup berat, yang dapat menggoncangkan kejiwaan atau mental. Dia bertanya bagaimana cara menanggulangi dan membentengi diri agar tidak mudah terkena stress, deperesi dan frustasi dalam menghadapi ujian hidup ? dalam menghadapi masalah ini, maka yang harus konselor lakukan adalah memahami esensi persoalan yang ada dalam diri seseorang itu antara lain:
§   Klien harus diberi pemahaman terlebih dahulu tentang Allah dan af’al-Nya (perbuatan dan kebijaksanaan-Nya).
§   Klien harus diberi pemahaman tentang esensi musibah atau peristiwa yang menyenangkan dan menyakitkan.
§   Klien harus diberi pemahaman tentang esensi manusia dihadapan Allah dan makhluknya.
§   Klien harus diberi pemahaman bagaimana metode dalam mengatasi problema hidup secara qur’ani dan hikmah-hikmah dari keberhasilan menanggulanginya.
Firman Allah SWT:

ماَ اَصاَ بَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلاَّ بِاِ ذْ نِ اللهِ. وَ مَنْ يُّؤْ مِنْ بِا للهِ يَهْدِ قَلْبَهُ. وَا للهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْم

Artinya:  “Tidak ada suatu musibah pun telah menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan siapa yang percaya kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah maha mengetahui terhadap segala sesuatu.”(At-taghabun ,64:11)

b.      Tindakan pencegahan dan perlindungan
Pembacaan ayat-ayat Al-qur’an juga berfungsi sebagai pencegahan dan perlindungan, yakni sebagai permohonan (do’a) agar senantiasa dapat terhindar dan terlindungi dari suatu akibat hadirnya musibah, bencana atau ujian yang berat. Yang mana hal itu dapat mengganggu keutuhan dan eksistensi kejiwaan (mental). Karena dalam kehidupan nyata sehari-hari tidak sedikit orang menjadi stress, depresi, dan frustasi bahkan menjadi hilang ingatan. Karena keimanan dalam dada tidak kokoh, mental sangat rapuh dan lingkungan jauh dari perlindungan Allah dan dari orang-orang shaleh. Adapun ayat Al-qur’an yang dibaca sebagai do’a pencegahan dan perlindungan antara lain:         

رَبَّناَ تَقَبَلْ مِنَّا. اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.  
اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّا بُ الرَّ حِيْمُ                                                                                     وَ تُبْ عَلَيْنَا
  
Artinya : “Wahai tuhan kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya engkaulah yang maha mendengar lagi maha mengetahui. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya engkau yang maha menerima taubat lagi maha penyayang”. (Al-baqorah, 2:127-128).

c.       Tindakan pengobatan atau penyembuhan
Fungsi dan tujuan yang lain dari pembacaan ayat Al-qur’an adalah memberikan penyembuhan atau pengobatan terhadap penyakit kejiwaan (mental), bahkan dapat juga untuk penyakit spiritual dan fisik. Tindakan penyembuhan atau pengobatan terhadap gangguan psikologis dengan menggunakan bacaan ayat Al-qur’an dapat dilihat pada beberapa contoh berikut, antara lain:
·      Penyembuhan penyakit lupa ingatan
·      Penyembuhan rasa sedih dan duka
·      Pencegahan, perlindungan, dan penyembuhan penyakit psikologis secara umum.

2.      Penyucian Diri
Suatu upaya menghilangkan atau melenyapkan segala kotoran dan najis yang terdapat dalam diri seseorang secara psikologis dan rohaniyah. Objek yang disucikan adalah bekasan pengingkaran dan kedurhakaan yang melekat pada jiwa, qalb, akal pikiran inderawi dan fisik, sehingga cahaya ketuhanan tidak dapat memancarkan sinarnya atau cahaya itu kembali kehadirat Allah. Karena itu membuat eksistensi fitrah seseorang manusia terbelenggu didalamnya dan tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi fitrahnya yang hakiki. Penyakit ini adalah puncaknya penyakit kejiwaan, yaitu penyakit yang diakibatkan karena sikap musyrik, kafir, munafik, fasiq, dan zhalim kepada Allah SWT.
Adapun tindakan terapi dengan penyucian jiwa dan rohaniyah dari bekas maksiat dan pengingkaran terhadap Allah ialah dengan memberikan bimbingan kepada pemahaman dan pengalaman tentang:
1)      Ilmu Tauhid
Yaitu suatu ilmu yang membahas tentang kemaha Esaan Allah, baik pada perbuatan, nama, sifat dan Dzat-Nya.
2)      Melakukan pertobatan
Sebelum pertaubatan dilakukan oleh individu, hendaknya terlebih dahulu diberikan suatu pemahaman jelas tentang esensi pertaubatan, yakni mengembalikan seseorang kepada keadaan fitrah, menggiring dan mengarahkan rohaniahnya untuk tunduk kepada Allah SWT. Menurut para ahli ushul dikalangan ahli sunnah mengatakan bahwa ada 3 syarat yang harus dipenuhi agar pertaubatan itu sah, yakni:
v   Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan
v   Meninggalkan secara langsung penyelewengan
v   Dengan mantap seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang sama.


3.      Pengajaran Al-qur’an dan Al-hikmah
Pengajaran Al-qur’an adalah suatu upaya pemahaman tentang isi dan pesan-pesan al-qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmu tafsir. Sedangkan pemahaman al-hikmah ialah menyampaikan dan memahami tentang makna dan pesan-pesan al-qur’an secara takwil.
Praktek terapi islam dengan pengajaran al-qur’an dan al-hikmah menurut Hamdani Bakran dengan teknis sebagai berikut:
1.      Konseling
a.       Waktunya siang hari dan satu minggu satu kali pertemuan
b.      Kasus atau masalah yang bersifat individu dan privasi dilakukan secara khusus dan tertutup.
c.       Masalah yang bersifat umum, dilakukan secara kolektif dengan waktu seminggu dua kali dalam bentuk pengajian dan dialog
2.      Psikoterapi
a.       Waktunya malam hari, dan seminggu sekali. Tepatnya adalah setiap malam jum’at.
b.      Khusus pada kasus penyimpangan perilaku dan sikap yang disebabkan karena pengaruh narkotik, alcohol, dan zat adiktif.
c.       Instrument psikoterapi yang Hamdani selalu gunakan dalam terapi kelompok adalah dengan melakukan shalat sunnah tasbih, taubat, dan hajat.



III.             KESIMPULAN
Perilaku bermasalah merupakan tingkah laku seseorang dalam menghadapi masalah yaitu apa yang diinginkan tidak terjadi sedangkan yang tidak diinginkan malah terjadi. Namun setiap masalah mempunyai terapi atau metode yang berbeda dalam menyelesaikannya. Didalam islam banyak terapi yang bisa dilakukan tergantung masalah yang dihadapi.




DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, , Jakarta: Bumi Akasara
Hamdani, Bakranadz-dzaki, Konseling dan Terapi Islam, Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru . 2004
Imam Al-qusyairy, Risalah Al-Qusyaiyah,Tterjeman, Muhammad Luqman Hamkim, Surabaya: Risalah gusti, 1997
Sutoyo, Anwar, Bimbingan Konseling Islam (teori dan praktek),  Semarang: Cipta prima nusantara. 2007





Jumat, 18 Mei 2012

CITRA DA'I


I.                    PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan sebuah negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan diberlakukan. Sistem keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang masih dipertahankan seperti etika dan moral dalam cakupan agama.
Bersentuhan dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan mengerti dengan benar persepsi terhadap penyampai ajaran agama tersebut. Secara sederhana dalam Islam penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan orang yang berperan sebagai penyampai ajarannya disebut Da’i.
Di kalangan umat muslim sendiri sebutan Da’i sudah memasyarakat. Sosok da’i mereka kenal sebagai orang yang mengerti dan memahami betul seluk beluk ajaran agama Islam. Bukan hanya itu, melalui prilaku keseharian Da’i yang patut diteladani oleh masyarakat. Misalnya peduli dengan keresahan dan kebimbangan masyarakat dalam memaknai kehidupan beragama.
Dan diharuskan setiap muslim hendak menyampaikan dakwah secara profesional seyogyanya memiliki kepribadian yang baik untuk menentukan keberhasilan suatu dakwah, dari keprbadian yang bersifat rohani maupun yang bersifat fisik.

II.                 RUMUSAN MASALAH
A.     Pengertian Citra Da’i
B.     Bagaimana Kondisi Kepribadiannya
C.      Citra Da’i di mata masyarakat

III.               PEMBAHASAN
A.     Pengertian Citra Da’i
Citra adalah kesan kuat yang melekat pada banyak orang tentang seseorang, sekelompok orang atau tentang suatu institusi. Seseorang yang secara konsisten dan dalam waktu yang lama berperilaku baik atau berprestasi menonjol maka akan terbangun kesan pada masyarakatnya bahwa orang tersebut adalah sosok yang baik dan hebat. Sebaliknya jika seseorang dalam kurun waktu yang lama menampilkan perilaku yang tidak konsisten, maka akan tertanam kesan buruk orang tersebut di dalam hati masyarakatnya. Dalam perspektif ini maka citra dapat dibangun. Orang yang ingin memiliki citra baik di dalam keluarganya atau di lingkungannya, maka ia harus bisa menunjukan sebagai orang baik secara konsisten.
Citra atau kesan terbangun melalui proses komunikasi interpersonal dimana orang banyak mempersepsi kepada kita atau sebaliknya. Citra dipersoalkan biasanya hanya pada seseorang yang secara sosial menonjol kedudukannya. Meski demikian tidak semua perbuatan dipersepsi secara tidak benar, karena persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor.
Sedangkan Da’i itu adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan yang baik secara individu kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga (mubaligh) atau istilah lain atau orang yang menyampaikan ajaran islam.
Mengingat semua itu, maka dakwah yang sungguhnya sangat mengharuskan da’i-da’i agung yang memiliki jiwa besar, sebesar ajaran yang akan didakwahinya., mempunyai wawasan yang berwawasan luas dan berkemampuan mengesankan serta menghidupkan nilai-nilai keislaman dalam hati setiap umat islam. Berarti bahwa da’i  itu sendiri haruslah lebih dahulu mengerti dari dakwahnya dari pada pendengarnya. Dengan begitu dia akan mampu menjadi penggerak dan pengendali dari dakwah tersebut. Oleh karena itu melaksanakan dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah, baik dari sisi pelaku maupun dari sisi penerima seruan. Sebab dakwah tidak bisa di terima oleh setiap manusia atau mad’u.
Oleh karena itu bagi setiap da’I hendaklah menjadikan al-qur’an sebagai pedoman untuk dapat menggali nilai-nilai keluhuran dan kebijakan sehingga tingkah laku dan perkataan merupakan cerminan dari nilai tersebut.
Jadi citra Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan yang baik secara individu kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga (mubaligh) atau istilah lain atau orang yang menyampaikan ajaran islam dengan kesan kuat yang melekat pada banyak orang tentang seseorang, sekelompok orang atau tentang suatu institusi secara konsisten dan dalam waktu yang lama berperilaku baik atau berprestasi menonjol maka akan terbangun kesan pada masyarakatnya bahwa orang tersebut adalah sosok yang baik dan hebat.
B.     Kondisi Kepribadiannya
Dalam kepribadian da’I terdapat dua sifat dasar yaitu :
1.      Kepribadian yang bersifat rohani
Kepribadian yang baik sangat menentukan keberhasilan dakwah. Karena pada hakekatnya berdakwah tidak hanya menyampaikan teori,tapi juga harus memberikan teladan bagi mad’u. keteladanan jauh dari besar pengaruhnya dari pada kata-kata. Klasifikasi kepribadian da’I yang bersifat rohaniah mencakup sifat, sikap dan kemampuan diri pribadi da’I, ketiga itu mencakup keseluruhan kepribadian yang harus dimilikinya.

v  Sifat-sifat da’i
a.       Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT
Sifat ini merupakan dasar utama pada akhlak da’i. seorang da’I tidak mungkin menyeru mad’unya beriman kepada Allah, kalau tidak ada hubungan antara da’I dan Allah SWT.
b.      Ahli tobat
Sifat tobat dalam diri da’I, berarti ia harus mampu untuk lebih menjaga atau takut untuk berbuat maksiat atau dosa di bandingkan orang-orang yang menjadi mad’unya. Jika dai merasa telah melakukan dosa atau maksiat hendaknya ia begegas untuk bertoat dan menyesali atas perbuatannya dengan mengikuti panggilan ilahi.
c.       Ahli ibadah
Seorang da’I adalah mereka yang selalu beribadah kepada Allah dalam setiap gerakan, perbuatan ataupun perkataan dimanapun dan kapanpun. Dan segala ibadahnya ditunjukkan dan diperuntukan hanya kepada Allah dan bukan kepada manusia.
d.      Amannah dan siddiq
Sifat ini adalah keutamaan yang haus dimiliki seorang da’I sebelum sifat yang lain, karena merupakan hiasan para Nabi dan orang saleh. Oleh karena itu seorang da’I harus memiliki sifat dapat dipercaya dan jujur, maka mad’u akan cepat percaya dan menerima ajaran dakwah.
e.       Pandai dan bersyukur 
Seorang da’I yang baik adalh da’I yang mampu menghargai nikmat Allah dan menghargai kebaikan orang lain. Orang yang bersyukur adalah orang yang merasakan karunia Allah dalam dirinya sehingga perbuatan dan ungkapannya merupakan realisasi dari rasa kesyukuran tersebut.
f.       Tulus ikhlas dan tidak mementingkan pribadi
Kepribadian ini merupakan salah satu syarat yang mutlak harus dimiliki seorang da’i. sebab dakwah adalah pekerjaan yang bersifat ubudiyah yakni amal perbuatan yang berhubungan dengan Allah dengan memerlukan keikhlasan lahir dan batin.
g.       Ramah dan penuh pengertian
h.      Tawaddu’ (rendah hati)
i.        Sederhana dan jujur
j.        Tidak memiliki sifat egois
k.      Sabar dan tawakal
l.        Jiwa toleran
m.    Sifat terbuka (demokratis)
n.      Tidak memiliki penyakit hati

v  Sikap seorang Da’i
-         Berakhlak mulia: syarat mutlak yang harus dimiliki oleh siapapun terlebih lagi seorang da’i
-          Menjadi suri tauladan: bila da’I menyuruh pada kebaikan, da’I harus terlebih dahulu melakukannya.
-          Disiplin dan bijaksana: ini sifat menunjang keberhasilan dakwah
-          Wara’ dan berwibawa: menjauhkan dari sifat yang tidak beguna. Sedang berwibawa adalah sifat yang harus ada pada da’I sehingga yang disampaikan dipercaya orang.
-          Pandangan luas: dapat bersifat arif dan bijaksana dalam memandang suatu masalah
-          Berpengetahuan yang cukup: da’I harus memiliki ilmu sehingga strategi dakwahnya berhasil
2.      Kepribadian yang bersifat jasmani
Diantaranya yaitu:
·         Sehat jasmani
Da’I yang mempunyai jam terbang yang tinggi, diharuskan menjaga kesehatan jasmaninya untuk kelancaran dakwahnya
·         Berpakaian sopan dan rapi
Pakaian dapat menunjukkan kepribadian seseorang, oleh karena itu penting rasanya da’I berpakaian sopan dan rapi.
C.     Citra Da’i di mata masyarakat
Kualitas Konsep Diri
Konsep diri ada yang positif dan ada yang negatif. Jika seorang da’i memiliki konsep diri yang positif, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
1. Ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengatasi masalah yang akan dihadapi. Apapun kesulitan yang ia bayangkan, ia merasa yakin akan dapat menemukan jalan keluarnya.
2. Dalam pergaulan dengan orang banyak, ia merasa setara dengan orang lain, ia tidak merasa rendah diri, tidak kecil hati, tidak merasa sebagai orang kampung yang ketinggalan zaman (meskipun ia berasal dari kampung), tetapi merasa sama. Jika orang lain bisa mengapa saya tidak bisa?
3. Jika suatu saat ia dipuji orang, ia tidak tersipu-sipu malu, karena ia merasa pujian itu wajar saja, sekadar mengungkapkan keberhasilan atau kelebihan yang ia miliki. Baginya pujian tidak membuatnya merasa tinggi dari apa yang ada pada dirinya, atau merasa kagum terhadap dirinya (‘ujub). ia menerima pujian itu dengan terbuka karena pujian itu sudah pada tempatnya.
4. Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang tidak mungkin disetujui atau memuaskan seluruh masyarakat. Ia menyadari bahwa ia dapat melakukan suatu hal yang berguna dan menyenangkan orang lain, tetapi ia juga sadar bahwa tidak semua orang dapat menerima secara positip terhadap apa yang ia lakukan.
5. Mampu memperbaiki diri. Karena sikap yang terbuka terhadap pujian dan cacian, maka ia mampu menerima kritikan dan saran-saran dari orang lain sebagai masukan untuk memperbaiki diri.
Sedangkan da’i yang mempunyai konsep diri negatif, ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1. Peka terhadap kritik. Jika dikritik orang ia tidak tahan. Ia mempersepsi kritikan orang itu sebagai upaya untuk menjatuhkan dirinya. Oleh karena itu da’i yang konsep dirinya tidak dapat menjalankan dialog terbuka, ia tidak dapat menangkap pikiran-pikiran yang bagus dari para pengkritiknya, karena telinganya terlanjur “merah” dan oleh karena itu ia bersikukuh untuk mempertahankan logika berpikirnya yang keliru.
2. Ia bersifat hiperkritis, kelewat kritis terhadap orang lain, sehingga ia cenderung merendahkan dan meremehkan orang lain. Ia begitu berat mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain, apalagi orang yang menjadi saingannya. Baginya yang benar adalah dirinya dan orang lain pasti salah. Kebenaran orang lain itu diakuinya hanya jika berhubungan dengan pujian kepada dirinya sendiri.
3. Ia merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa tidak dianggap sebagai “orang” dan ditinggal. Oleh karena itu ia mudah mempersepsi orang lain sebagai lawan, sebagai saingan atau musuh yang mengancam keberadaan dirinya. Orang yang memiliki sifat ini biasanya susah untuk dapat bergaul secara akrab dan hangat, karena ia sendiri merasa tidak diakrabi. Jika suatu saat rivalnya itu datang dengan keakraban, maka ia mencurigai keakraban lawannya itu sebagai pura-pura. Ia susah sekali mengakui kesalahan dirinya.
4. Ia pesimis untuk bersaing dengan orang lain secara terbuka. Ia enggan untuk berkompetisi dengan orang lain. Karena ia merasa bahwa sistem persaingan itu merugikan dirinya. Ia sudah memastikan bahwa jika ia ikut kompetisi pasti akan dikalahkan oleh sistem yang tidak adil terhadap dirinya.
Seorang da’i sudah sepantasnya memiliki konsep diri yang positif, karena dari konsep diri positiflah akan lahir pola konsep diri positif. Da’i diharap tidak keliru mempersepsi orang, dan mampu berekspresi diri yang menimbulkan kesan positif. Sebagai orang yang harus mengetuk hati nurani dalam dakwahnya, seorang da’i harus memiliki citra “terbuka” di hadapan mad’unya, dan hanya orang yang memiliki konsep diri positiflah yang sanggup membuka diri.
Orang yang terbuka (atau berani membuka diri) adalah orang yang tahu betul hal-hal apa yang telah diketahui orang lain tentang dirinya, sehingga tak perlu menutup-nutupi dengan topeng (kata-kata atau perilaku tertentu). Ia juga tahu betul hal-hal apa pada dirinya yang tidak perlu diketahui oleh orang lain, yang oleh karena itu tidak merasa perlu untuk memberitahukannya.

IV.              KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan  bahwa maka dakwah yang sungguhnya sangat mengharuskan da’i-da’i agung yang memiliki jiwa besar, sebesar ajaran yang akan didakwahinya., mempunyai wawasan yang berwawasan luas dan berkemampuan mengesankan serta menghidupkan nilai-nilai keislaman dalam hati setiap umat islam. Berarti bahwa da’i  itu sendiri haruslah lebih dahulu mengerti dari dakwahnya dari pada pendengarnya. Dengan begitu dia akan mampu menjadi penggerak dan pengendali dari dakwah tersebut. Oleh karena itu melaksanakan dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah, baik dari sisi pelaku maupun dari sisi penerima seruan. Sebab dakwah tidak bisa di terima oleh setiap manusia atau mad’u.
           












DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Moh, Ali, Dr, M.Ag., Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Faizah, S.Ag, M.A & dk. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana Media, 2006 .
Mubarak Ahmad, Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Qardhawi, dr yusuf, Kritik dan Saran Untuk Para Da’i, Jakarta: Media Dakwah, 1998.
Syabibi, m. Ridho, S.Ag, M.Ag., Metodologi Ilmu Dakwah,-Kajian Ontologis Dakwah Ikhwan Al-safa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.